Laman

Kamis, 16 Juni 2011

DEFENISI-DEFENISI DARI DEVOLUSI, KUNTIUNITAS DAN KEPUNAHAN


OLEH:
Muhammad Iyas Hidayat

1. Defenisi Devolusi

Devolusi (devolution) adalah serangkaian proses degenerasi yang berlaku secara massal yang diawali oleh perubahan ‘kebiasaan mata (what I see)’, ‘kebiasaan mulut (what I say, what I eat and what I drink)’ dan ‘penerimaan telinga (what I hear)’ yang matang menjadi ‘persepsi (perception)’ hingga mampu merubah ‘perilaku (behavior)’ yang menyimpang dari hakekat, maksud dan fungsi penciptaan dirinya.
Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi. Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja rimba, maka ia mampu berlaku ‘mirip’ sebagaimana hakekat penciptaan manusia. Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.
Ketika dalam masyarakat manusia, ada tatanan yang mengatur perebutan kekuasaan dan kekuatan maka fenomena ini disebut devolusi. Hakekat peradaban masyarakat manusia bukanlah siapa yang berhak menjadi penguasa, melainkan siapa yang “layak” menjadi “pemimpin (leader)”. Dalam tata nilai masyarakat manusia beradab, seseorang tidaklah perlu mengikuti ukuran siapa yang “kuat (powerful)”, melainkan siapa yang mampu memberikan “manfaat (usefulness)”
Devolusi menghasilkan generasi yang derajatnya lebih rendah (down-grade generation) dari induknya. Devolution is not only biological fallacy, but is the process of the tenancy of humanimalization! Demikian kata Gregory R. Mendoza
Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah. Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat, melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.
RAGAM seteru yang melintasi di setiap kolom berita publik hari ini jelas menunjuk pada dinamika sosial yang sentripetal. Roh reformasi tampak dangkal, alih-alih dapat mengampu alam pikir rakyat yang selama ini teralienasi, para elit lokal yang seharusnya menjadi provider atas soal ini pun larut dalam dinamika atas awan itu. Ini berarti posisi Negara - Rakyat yang terfragmentasi sedemikian rupa itu tidak pernah beranjak.

Keterpisahan dimensi negara atas rakyat di atas jelas merupakan entry point yang sangat tepat untuk menoleh pada adanya praktek anti demokrasi di sebuah bangsa. Kejadian ini sebenarnya lebih merupakan kondisi yang sengaja diciptakan, di mana negara sengaja meninggalkan rakyat, daripada sesuatu yang terjadi secara alamiah..

Arendt menyebutkan bahwa dilihat dari segi struktural (model yang sentralistik), terwujudnya praktek totalitarianisme dapat ditunjukkan dengan indikasi sebagai berikut: (1) Terjadinya legitimasi dengan gampang pelanggaran HAM atas nama tujuan ideologis seperti pembangunan dan kejayaan bangsa, kita lihat di Indonesia bagaimana hal ini terjadi secara sistematis di Aceh, Timor Timur, Ambon, Irian Jaya, dan sebagainya.

 (2) Monopolisasi informasi dengan alasan bahwa pemerintah tahu lebih baik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibaca, ditonton dan didiskusikan oleh rakyat, pasca reformasi pun rupanya pemerintah masih belum dapat menghilangkan kebiasaan ini, statemen Habibie tentang Komas (komunisme, marhaenisme dan sosialisme) yang kontroversial itu jelas menunjukkan indikasi ke arah sana.

 (3) Pembatasan organisasi-organisasi rakyat pada organisasi-organisasi resmi. Hal ini menunjukkan ada praktek korporatisme negara dengan contoh organisasi-organisasi seperti KNPI, HKTI, PWI, dan sebagainya, yang rupanya hasil rapat keputusan KPU tentang utusan golongan pada MPR (1999) kali ini pun masih mencantumkan nama-nama di atas. Dengan demikian dari ketiga indikator di atas itu saja cukup bagi kita untuk melihat bahwa praktek politik sentralistik adalah berbanding lurus dengan terwujudnya totalitarianisme.

2.                  CONTINUITY          
Continuity  merupakan strategi untuk menyediakan suatu cara yang terorganisir untuk membuat keputusan jika terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan ganggungan / krisis terhadap berjalannya suatu proses. Tujuannya adalah untuk mengurangi kebingungan organisasi dan meningkatkan kemampuan organisasi dalam menghadapi krisis tersebut. Pada umumnya, ketika suatu peristiwa yang mengganggu terjadi, organisasi tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan suatu rencana pemulihan dengan segera. Oleh karena itu, jumlah perencanaan dan pengujian yang telah dilakukan sebelumnya akan menentukan kemampuan organisasi tersebut dalam mengangani suatu bencana.
Contiunity mempunyai banyak sasaran, dan masing-masing sasaran tersebut penting.
Sasaran-sasaran meliputi:
•    Melindungi suatu organisasi dari kegagalan penyediaan sistem komputerisasi.
•    Memperkecil risiko keterlambatan suatu organisasi dalam menyediakan jasa
•    Menjamin keandalan sistem melalui pengujian dan simulasi
•    Memperkecil pengambilan keputusan oleh personil selama suatu bencana

3.                  KEPUNAHAN
Dalam benak kita selalu berpikir pada jaman dahulu telah terjadi kepunahan spesies tertentu dari mahluk hidup di dunia ini. Namun Pak Awang justru mendongeng kepunahan yang akan terjadi dimasa mendatang. Pak Awang mendongeng bagaimana kepunahan merupakan sebuah mekanisme yang diperlukan oleh bumi utk tetap bertahan.
Earth Day : Kepunahan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Kepunahan masal adalah fakta dalam sejarah Bumi. Sebab “the present is the key to the past” atau sebaliknya “the past is a lesson for the present and the future” maka bahwa kepunahan pun sedang terjadi, dan akan terjadi. Dalam rangka merenungi Earth Day, saya tulis beberapa hal di bawah ini dengan berdasar kepada “rapid reading” beberapa buku yang berhubungan.
Sebagian besar spesies yang pernah hidup di Bumi sekarang ini telah punah. Catatan fosil menunjukkan bahwa spesies2 seperti amonit, trilobit, dan dinosaurus suatu saat pada masa lalu pernah begitu berlimpah jumlahnya hidup di Bumi. Kepunahan adalah salah satu mekanisme evolusi melalui seleksi alam. Ketika menghadapi iklim yang berubah, sumber makanan yang menurun drastis, dan banyaknya persaingan; beberapa spesies beradaptasi dan bisa meneruskan hidupnya, tetapi yang lain menyerah, mati, dan punah.
Selama sejarah Bumi, telah tercatat perubahan2 besar dan cepat yang mengakibatkan terjadinya lima kepunahan masal. Raup dan Sepkoski (1986) : The Nemesis Affair – W.W. Norton, mendaftarkan kelimanya : ujung Ordovisium, ujung Devon, ujung Perem, ujung Trias, dan ujung Kapur. Dari kelima kepunahan masal tersebut, yang paling besar adalah kepunahan pada ujung Perem, 252 juta tahun yang lalu, yang sering disebut “The Great Dying”. Pada masa itu, 75 % spesies darat dan 90 % spesies laut punah.
Kepunahan masal terakhir terjadi pada 65 Ma, pada K-T boundary, pada ujung Kapur dan awal Tersier. Dari kelima kepunahan masal itu, diketahui bahwa natural background rate of extinction di antara spesies tersebut adalah sekitar 1 spesies per 100 tahun.
Itu adalah kepunahan masa lalu, yang telah terjadi.
Kini, kita sebenarnya tengah mengalami kepunahan yang keenam. Bagaimana tidak, sebab saat ini tingkat kepunahan spesies sudah 1 spesies per hari, bahkan menurut Luhr (2004 : “Earth” – Dorling Kindersley) kadang-kadang 1 spesies punah per 20 menit. Biodiversitas Bumi sedang sangat menurun, steep decline, tingkat kepunahan saat ini adalah tingkat yang paling tinggi dalam 65 juta tahun terakhir. Manusia adalah agen kepunahan paling besar. Kalau kepunahan-kepunahan dulu disebabkan alam, maka kepunahan keenam terutama disebabkan manusia.
Dampak kehadiran manusia di Bumi ini terhadap alam dengan bagus dan detail dituliskan Colin Tudge dalam “The Time Before History : 5 Million Years of Human Impact” (Simon & Schuster, 1997). “Human beings are even more dangerous than they seem”.

Itu adalah kepunahan masa kini, yang sedang terjadi.
Tulis Raup dan Sepkoski, kalau kita mengamati catatan fosil, maka setiap sehabis 26 juta tahun terjadi “minor” mass extinction. Raup dan Sepkoski mencari mekanisme-nya secara extra-terrestrial : karena setiap 26 juta tahun Bumi memotong sabuk asteroid yang sama-sama mengorbit Matahari. Katanya, saat ini kita ada di pertengahan siklus 26 juta tahun, artinya kepunahan akan terjadi lagi 13 juta tahun kemudian.

Itu adalah kepunahan masa depan, yang akan terjadi.
Bagaimana masa depan manusia ? Colin Tudge (1997) menuliskan spekulasinya. Sepanjang Kenozoik (Paleogen, Neogen, Kuarter), kebanyakan spesies mamalia bertahan hidup sekitar satu juta tahun, setelah itu ia akan berevolusi berubah bentuk dalam rangka adaptasi karena seleksi alam, atau akan punah karena tak sanggup beradaptasi terhadap seleksi alam. Bagaimana peluang manusia (Homo sapiens) bertahan selama satu juta tahun ? Mengapa kita pakai standar satu juta tahun, sebab itu adalah umur rata2 satu spesies dalam status evolusinya sepanjang Kenozoik sebelum ia berubah bentuk menjadi yang lain. Apakah manusia harus dikecualikan ? Bisa saja, sebab manusia adalah makhluk berakal dan mungkin punya daya adaptasi jauh lebih tinggi dibandingkan makhluk2 lain. Tetapi, harus diingat pula bahwa tingkat kerusakan lingkungan sepanjang Kenozoik, yang paling parah adalah bersamaan dengan kehadiran manusia. Jadi, manusia mungkin bisa sangat beradaptasi, tetapi lingkungan tempat hidupnya rusak parah, bisakah survive ?
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar