Assalamu Alaikum, ahlan wasahlan selamat datang di Blog Saya

Kamis, 16 Juni 2011

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI INDONESIA







oleh: Muhammad Ilyas Hidayat

INDONESIA adalah negeri kelautan. Namun, masyarakat pesisir masih jauh tertinggal. Warga yang mendiami 8.090 desa itu diperkirakan berjumlah 16,42 juta jiwa. Komunitas yang ditandai dengan angka indeks kemiskinan 0,28. Dengan kata lain, sekitar 28 persen populasi tergolong miskin. Fenomena kemiskinan masyarakat pesisir, sungguh sangat ironis.  Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang besar di kawasan pesisir.
Paling tidak, potensi bernilai devisa 82 miliar dolar AS dari laut bisa diperoleh setiap tahun. Sayang, potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, devisa tidak diraih dan 4 juta nelayan tetap hidup miskin. Data menunjukkan, lebih dari 60 persen penduduk miskin berada di wilayah pesisir Nusantara. Sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta nelayan di kawasan pasisir hidup di bawah garis kemiskinan. Bangsa-bangsa lain justru yang memanfaatkan potensi tersebut lewat kegiatan pencurian ikan yang berlangsung hingga saat ini.
Krisis yang berkepanjangan tengah melanda negara kita. Pembangunan yang tidak
menjaga keseimbangan lingkungan terjadi dan meningkat dalam beberapa tahun terakhir
ini. Alasan tersebut diperparah dengan ketidakkonsistennya pemerintah dalam mengatasi
permasalahan lingkungan. Akibat dari ketidakacuhan tersebut baru dapat dirasakan akhir akhir ini, ketika banyak terjadi abrasi (pengikisan pantai) dan banjir bandang yang
melanda berbagai daerah di negara ini.

Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 Km2. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri
yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya.

Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasipemanfaatannya karena  secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.

Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau
Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah berulangkali dilakukan (Rimbawan,
1995; Sumarhani, 1995; Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal
dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup.

 Pembangunan memiliki visi memberdayakan manusia dan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Sebab sepanjang zaman keswadayaan merupakan sumber daya kehidupan yang abadi dengan manusia sebagai intinya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan masyarakat merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan ditengah masyarakat lainnya. Masyarakat pesisir yang sebagian besar merupakan masyarakat nelayan
memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini sdikarenakan keterkaitannya yang erat dengan karakterstik ekonomi wilayah pesisir, slatar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang.

Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumberdaya alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. kehidupan sosial masyarakat pesisirnya tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat pesisir lainnya yang ada di Indonesia, misalnya rendahnya pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer teknologi dan komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat pesisi, khususnya nelayan pengolah menjadi tidak menentu.

Semakin kompleks dan kompetitif, nelayan pengolah dihadapkan pada tantangan yang semakin besar dalam keterkaitan usaha nelayan dengan berbagai aspek lingkungan yang mempengaruhinya serta persaingan dalam pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya yang tersedia. Untuk itu diperlukan usaha pemberdayaan nelayan pengolah untuk peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan.


PEMBAHASAN

            Sumber daya alam masyarakat pesisir mempunyai potensi yang sangat besar, namun terkadang masyarakat pesisir tidak mampu untuk mengelolanya.  Tidak semua masyarakat pesisir tidak mampu mengelola sumber daya alam yang ada disekitarnya.  Sebagian masyarakat pesisir yang mampu mengelola sumber daya alamnya terkadang tidak dihargai. 
Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya era reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda. Semestinya bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan hidup dan matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat pembangunan kemaritiman bagi bangsa ini merupakan modal besar dan peluang lebar untuk menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam tahap awal pembangunan kemaritiman.
            Namun, pada kenyataannya langkah tersebut belum menunjukkan sinyal yang pasti. Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarkat pesisir adalah suatu pertanda bahwa nasib mereka masih berada dalam ketidak jelasan, sehingga akibatnya sumber daya masyarakat (SDM) yang mereka miliki sangat minim dalam mengelola kekayaan laut yang melimpah. Bukannya mereka tidak memiliki usaha yang keras dan keinginan yang gigih dalam memajukan sosial-ekonominya. Tapi, karena keterbatasan pendidikan, informasi dan teknologi yang membuat mereka harus menerima apa adanya.
            Dari sisnilah pentingnya perhatian berbagai pihak, baik itu konsultan pemberdayaan, aktivis LSM, peneliti, politisi, dan khususnya para penentu kebijakan untuk segera menguak nasib buram masyarakat pesisisir. Sebab, di akui atau pun tidak keterpurukan masyarakat pesisir kurang begitu diwacanakan atau dimunculkan kepermukaan, entah karena letak giografisnya yang terisolir, atau karena tertutup oleh permasalahan-permaalahan aktual yang bersifat sementara, sehingga berbagai pihak melupakan masyarakat yang terpinggirkan; masyarakat yang telah lama menahan sakit berkepanjangan.
            Kepedihan mayarakat pesisir yang diombang-ambing keadaan bangsa yang tidak menentu, di mana pada kenyataannya mereka adalah korban dari kebusukan pikir para pemimpin, hingga masyarakat pesisir harus menderita dalam waktu yang berkepanjangan..  Masyarakat pesisir memiliki keinginan besar untuk terus mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun untuk mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang diciptakan dari kesalahan sejarah. Masyarakat pesisir saat ini tidak berposisi sebagai penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta dan memberikan warisan untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas ekonomi perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya.
Realitas banyak terjadi diberbagai wilayah pesisir lainnya. Kelemahan-kelemahan tersebut biasanya terletak pada terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi, rendahnya kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan yang terbatas kapasitasnya, akses mudal dan pasar produk ekonomi lokal yang terbatas, tidak adanya kelembagaan sosial-ekomi yang dapat membangun masyarakat dan belum adanya komitmen pembangunan kawasan pesisir secara terpadu.
            Strategi Berangkat dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, menekankan perlu adanya tujuan program pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain,
(1) memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi,
 (2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kualitas wawasan para pengurusnya,
(3) mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal, seperti terasi, VOC ( Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual tinggi,
(4) melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas, khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.
Adapun fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi kepentingan pembangunan warga; menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan kohesivitas, sehingga kemampuan gotong royong masyarakat meningkat; memperbesar nilai tawar (bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan yang direncanakan.
Wilayah yang didominasi lautan dan keterhubungan antarpulau. Berarti, pilihan ekonomi nasional harus mencerminkan karakter negara kelautan dan kepulauan. Jika ingin menyejahterakan dan mengurangi angka kemiskinan, masyarakat  pesisir dan pulau-pulau kecil harus ikut terangkat. Pendekatan pembangunan pun harus komprehensif, jangan hanya memberikan prioritas pada komunitas tertentu. Kebijakan yang  hanya memprioritaskan pembangunan kecukupan pangan, misalnya, tak bakal menyentuh masyarakat pesisir. Memang, kebijakan sistematis dan berkelanjutan di bidang pangan hingga meraih predikat swasembada pangan patut ditanggapi positif.
 Seharusnya kebijakan yang sama berlaku pula di bidang yang lain, termasuk pada pemberdayaan masyarakat pesisir. Kenyataan memperlihatkan, sejak Indonesia merdeka, kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, belum juga mendapat sentuhan pemerintah hingga perubahan signifikan pun tak terjadi. Sarana-prasarana informasi yang minim, moda transportasi laut yang tak memadai menjadi gambaran tentang perhatian pemerintah yang kurang terhadap masyarakat pesisir.
Begitu pula, pengelolaan kesejahteraan nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir yang masih buruk. Sumber daya kelautan menjadi mata pencaharian masyarakat pesisir. Sudah saatnya, pemerintah memberikan perhatian penuh pada subsektor perikanan. Industri perikanan yang berkembang bisa menyerap banyak tenaga kerjar. Hasil  ikan juga merupakan komoditas ekspor dengan 100 persen bahan baku dari dalam negeri.Sifat yang khas itu menyebabkan produk perikanan memiliki keunggulan komparatif mutlak. Perikanan yang maju bakal meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya:mineral dan bahan tambang serta pariwisata.. sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian khususnya usaha perkebunan.
Pulau-pulau ini sebagian besar ditutupi oleh air laut. Fisiografi kepulauan mempengaruhi ekosistem-ekosistem yang terbentuk di kawasan Kepulauan Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur.

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata, selain itu juga dari segi ekologi terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak.
                 
Dengan kata lain, investasi pada subsektor perikanan harus dirangsang lebih keras dengan berbagai kebijakan dan insentif. Terlebih lagi, Indonesia masuk dalam 25 negara yang paling menarik sebagai tujuan investasi asing langsung. Daya saingnya terus meningkat. Yang jelas, produk perikanan tetap diminati, walaupun krisis ekonomi terus berlanjut.
Bila investasi berkembang, daya serap tenaga kerja bakal meningkat pula.
Wajar bila Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Riza Damanik, mengatakan di Jakarta, Senin (6/7), kemiskinan dan pengangguran dapat diatasi dengan pengenalan lebih dahulu pada karakteristik kewilayahan Indonesia.
Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et.al dalam Nikijuluw (2000) adalah pembangunan. Menurut mereka pembangunan adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi pemsberdayaan masyarakat
berarti membangun collective personality of a society.
Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan
paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu
(1) kemiskinan struktural,
 (2) kemiskinan super-struktural,dan
(3) kemiskinan kultural.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau
variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.
Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabelvariabel superstruktur tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila saja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang membuat sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk tindakan-tindakan yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin.
Dengan kata lain affirmative actions, perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous) sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial ekonomi masyarakat dan keluarga. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.
Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

PENUTUP
Dari sekelumit tentang strategi pemberdayaan masyarakat pesisir yang kiranya perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, khususnya pemerintah. Agar dalam menerapkan berbagai kebijakan, pemerintah terlebih dulu menggunakan pendengaran dengan sebaik-baiknya, bahwa disetiap bibir pantai (masyarakat pesisir) ada tangisan pilu yang tak bersuara, juga tidak ada yang menyuarakan.
 Akibat luka yang berkepanjangan, suara mereka hilang ditelan riuh-rendahnya gelombang bangsa yang tak berkesudahan. Sebab itulah buku ini akan menjadi penting bagi siapa yang berminat terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir, atau paling tidak memiliki rasa peduli terhadap nasib buram masyarakat nelayan yang hingga saat ini masih terkatung-katung dalam ketidak pastian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar