KATA PENGANTAR
Penyusunan perencanaan s o s i a I merupakan suatu proses kegiatan yang terdiri dari serangkaian tahapan untuk dilaksanakan s e c a r a berurutan. Adapun tahapan penyusunan perencanaan sosial dalam profesi pekerjaan sosial terdiri dari:
- Identifikasi dan perumusan masalah
- Penilaian kebutuhan
- Penetapan prioritas masalah
-Perumusan kebijakan dan strategi perencanaan program
- Perumusan tujuan
- Perumusan perencanaan program
- Penyusunan komponen kegiatan dan indeks biaya
- Langkah-langkah pelaksanaan pro¬gram
-Supervisi, monitoring, evaluasi, pencatatan dan pelaporan.
Di dalam proses penyusunan perencanaan sosial pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT), hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan tersebut, antara lain sebagaimana
diuraikan berikut ini.
Idenfikasi dan perumusan masalah.Idenfikasi dan perumusan masalah merupakan upaya awal untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya masalah apa sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan di lokasi KAT. Bagaimana perkiraan besaran permasalahan, tingkat kegawatannya, dan sebagainya.Sedangkan perumusan masalah menyangkut penanganan sasaran progam yang akan direncanakan, misalnya : terdapat warga masyarakat di lokasi KAT, baik secara individu maupun keluarga-keluarga yang tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya.Kemudian memahami masalah tersebut dinilai merugikan atau menjadi beban warga masyarakat setempat, dan kemungkinannya sejauh mana dapat menghambat proses kehidupan masyarakat. Diadakan analisis masalah untuk merumuskan program/kegiatan yang dianggap tepat atas dasar pemahaman sebab-akibatnya, sehingga dapat dirumuskan pelayanan sosial yang akan direncanakan.
Penilain kebutuhan atau needs assessment, merupakan upaya menghitung, merinci dan menilai secara cermat terhadap permasalahan/kebutuan/peluang memperoleh sumber-sumbernya, guna menterjemahkannya lebih lanjut dalam menentukan pelayanan sosial terhadap pemberdayaan KAT.Untuk itu akan diketahui apa saja bantuan yang diperlukan bagi para penyandang masalah, siapa yang akan memberikan bantuan tersebut, kapan bantuan tersebut disampaikan, dimana bantuan tersebut diperoleh, mengapa bantuan pelayanan sosial tersebut diberikan dan bagaimana cara menggunakan bantuan pelayanan sosial tersebut.
Penetapan prioritas masalah berdasarkan : informasi/data mengenai besarnya masalah warga KAT, sebab dan akibat masing-masing masalah warga KAT, dimana kriteria tersebut untuk menetapkan prioritas masalah atau urutan prioritas teratas dari kegawatan masalah yang dihadapi warga KAT, setelah dipilah-pilah sebelumnya.
Perumusan kebijakan dan strategi perencanaan program
Kebijakan pada dasarnya merupakan langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan, sehingga mencapai tujuan, sehingga merupakan suatu pijakan atau arahan dalam perumusan program/kegiatan. Sedangkan strategi pada dasarnya merupakan cara yang akan ditempuh untuk mencapai suatu tujuan, sekaligus merupakan arahan dalam merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan.Perencanaan program pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam merancang suatu program. Dengan demlkian maka kebijakan dan strategi perencanaan program pemberdayaan KAT harus dirumuskan secara tepat dalam langkah-langkah atau cara sebagai upaya pokok untuk mencapai tujuan.
Dalam perumusan tujuan hendaknya menggunakan analisis SMART (Spesific, Measurable, Aplicable/Achievable, Re¬alistic/Result oriente dan Time related). Tujuan umum dirumuskan secara kualitatif dengan pernyataan tentang kondisi yang akan diwujudkan, misalnya kesejahteraan sosial warga KAT meningkat.Tujuan khusus dirumuskan secara kuantitatif berupa pernyataan tentang hasil yang akan dicapai, misalnya warga KAT dapat menjahit baju seminggu tjga potong, warga KAT dapat berladang secara rutin setiap pagi, dsb.
A.. Perumusan perencanaan program
Perencanaan program pember¬dayaan KAT merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terangkum dalam suatu perencanaan berproses-nya komponen-komponen (inputs, throughputs, outputs, outcomes, im¬pacts). Inputs (masukan) : brainware (SDM), hardware (sarana & prasarana), sofware (sistem & prosedur, mekanisme kerja, peraturan-peraturan, petunjuk, dsb) serta pembiayaan, semuanya diinventarisasikan, diistimasikan kelayakannya, dirumuskan kesakhihanya secara tepat sebagai komponen dasar untuk prosesnya suatu kegiatan pemberdayaan KAT.Throughputs (proses kegiatan) : bagaimana merencanakan rangkaian kegiatan pokok untuk mengelola dan mengorganisasikan inputs diatas guna pemberian bimbingan sosial kepada warga KAT, mendiskusikan bantuan sosial dan sumber - sumber lain untuk kepentingan warga KAT, dan sebagainya. Secara keseluruhan sejak intake proses sampai dengan terminasi dan after cere-nya direncanakan sedemikian rupa dalam proses pelaksanaan kegiatan ini.Outputs (keluaran) : bagaimana merumuskan sasaran tujuan yang akan dicapai secara kuantitatif yang direncanakan. Misalnya sebagian warga KAT telah dapat menjahit bajunya keluarga masing-masing. selama sebulan 15 potong baju., dan sebaginya. Pernyataan ini dirumuskan secara fisibel, sesuai kondisi yang berkembang/ berubah, baiik perubahan kognitif, efektif maupun psikomotorik. Outcomes (hasil manfaat) bagaimana merumuskan sasaran tujuan fungsional yang dapat dirasakan oleh warga KAT. Misalnya warga KAT telah membukakan kios penjahitan untuk melayani penduduk sekitamya, dan penghasilannya dapat digunakan untuk biaya melanjutkan sekolah anaknya.Impacts (dampak) : bisa dampak positif atau negative, baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Dampak positif misalnya warga KAT yang sudah membuka kios penjahitan (konveksi) mulai dapat menampung lapangan kerja generasi muda warga KAT setempat. Sedangkan dampak negative misalnya, warga KAT yang sudah membuka kios tersebut harus mengikuti perkembangan mode yang sangat cepat, untuk itu memerlukan biaya yang sangat besar untuk menjangkaunya.Baik dampak positif maupun nega¬tive semuanya merupakan umpan balik terhadap penyusunan perencanaan sosial program pemberdayaan KAT dimasa berikutnya.
Keseluruhan komponen tersebut harus disusun disertai penetapan besar kecilnya biaya yang diperlukan, sesuai dengan indeks biaya yang ditetapkan. Secara khusus indeks biaya disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan di lokasi KAT, atau disepakati dari pemilik dukungan sumber dananya berdasarkan kebutuhan yang telah direncanakan.
B. Langkah-langkah pelaksanaan program
Untuk merencanakan langkah-langkah perencanaan program, dilakukan pengorganisasian, yaitu proses penentuan dan pengelompokan berbagai macam kegiatan, pembagian tugas dan wewenang berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsinya. Langkah ini sering menggunakan 5W + 1 H yaitu :Who, What, Where, When, Why, How, serta menggunakan 6M + 1 T yaitu : Man, Money, Material, Machine, Method, Management, dan Time. Penempatan tenaga (SDM) ke tugas-tugas yang specific secara proporsional dan profesional, berdasarkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya. Penjadwalan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan KAT disesuaikan dengan langkah -langkah pelaksanaan program yang telah direncanakan.
C. Supervisi, Monitoring, Evaluasi, Pencatatan dan Pelaporan
Supervisi adalah kegiatan pengawasan terhadap proses penyusunan perencanaan sosial pemberdayaan KAT yang dapat diJakukan manakala terdapat hal-hal yang perlu penyelesaian lebih lanjut. Supervisi ini dapat dilakukan oleh petugas diluar KAT, misalnya dari tingkat Pusatyang berkompeten dengan program pemberdayaan KAT. Monitoring atau pemantauan adalah suatu proses untuk mengamati berlangsungnya suatu proses penyusunan perencanaan. Kalau warga KAT ada yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan di lokasi KAT, sebaiknya warga KAT itu sendiri yang melakukan pemantauan, karena dapat dilakukan setiap saat, terus menerus, pada komponen tertentu, sehingga dapat mengetahui sampai sejauh mana perkembangan atau kendala yang terjadi.Evaluasi atau penilaian untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiennya suatu proses penyusunan perencanaan sosial program pemberdayaan KAT, dalam pencapaian hasil atau tujuan yang diharapkan. Pencatatan pada hakekatnya kegiatan yang dilakukan secara simultan dalam pemantauan, sehingga hasil pemantauan semuanya direkam, ditulis, difoto, didokumentasikan, untuk bahan evaluasi.Pelaporan pada hakekatnya melaporkan proses dan hasil penyusunan perencanaan sosial program pemberdayaan KAT dari hasil evaluasi yang telah dilakukan. Hasil supervisi, monitoring, evaluasi yang dicatat tersebut dilaporkan secara berjenjang kepada pihak-pihak yang terkait termasuk pemilik sumber, warga masyarakat pada umumya yang peduli terhadap pemberdayaan KAT, sebagai pertanggung jawaban serta factor etikanya.Kronologis terhadap komponen supervisi, monitoring, evaluasi pencatatan dan pelaporan merupakan bagian yang tak terpisahkan, walaupun kadang-kadang kurang mendapat perhatian yang memandai bagi para perencana pada umumnya. Proses perencanaan sosial program pemberdayaan KAT ini masih dipandang perlu untuk dikombinasikan dengan model perencanaan lainnya terutama dalam program yang bersifat Commu¬nity Development, sehingga disana-sini saling melengkapi demi terwujudnya suatu perencanaan social.
2. Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: Tahap Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait: Secara garis besar, tahapan perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut (Suharto, 1997):
a. Tahap Identifikasi
Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam perumusan kebijakan sosial adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs). Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah? Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai. Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan sosial yang akan diterapkan.
b. Tahap Implementasi
Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya. Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program proposals) atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
c. Tahap Evaluasi
Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan kebijakan baru.
Mekanisme dan Isu-Isu Kebijakan Sosial Untuk lebih memahami proses perumusan kebijakan sosial, kiranya perlu ditelaah secara singkat mekanisme dan kerangka kerja perumusan kebijakan sosial. Telaah ini akan membantu kita dalam memahami peranan lembaga atau aktor yang terlibat dalam merumuskan kebijakan sosial (Suharto, 1997) Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto, 1997)
a. Mekanisme Kebijakan Sosial
(1) Departemen pemerintahan. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab mengenai perumusan kebijakan sosial kepada kementrian, departemen atau lembaga-lembaga pemerintah yang berperan. Misalnya Departemen Sosial di Indonesia merupakan salah satu departemen yang memiliki kewenangan langsung dalam merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial. Di Departemen Sosial, terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan penting dalam kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan.
(2) Badan Perencanaan Nasional. Dalam konteks pembangunan yang lebih luas, perumusan kebijakan sosial juga seringkali menjadi tugas khusus dari Badan Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk merumuskan dan sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial. Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus yang menangani berbagai perencanaan sosial sekaligus perumusan kebijakan sosial dalam pembangunan nasional. Kebijakan yang dihasilkan lembaga ini kemudian menjadi acuan bagi departemen dan lembaga-lembaga terkait dalam melaksanakan berbagai program pembangunan.
(3) Badan legislatif. Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial. Lembaga ini biasanya memiliki komisi khusus yang mengurusi perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, di Indonesia, DPR memiliki komisi khusus yang bertanggungjawab mengatur urusan ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial.
(4) Pemerintah Daerah dan Masyarakat Setempat. Di sejumlah negara di mana administrasi pemerintahannya lebih terdesentralisasi, Pemerintah Daerah (PEMDA) memiliki peran yang sangat penting dalam perumusan kebijakan sosial, khususnya yang menyangkut persoalan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya. Lebih-lebih lagi di negara-negara yang telah sangat matang menjalankan konsep demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan kewenangan dalam mengungkapkan aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi bagian dari tema-tema penting dalam kebijakan sosial.
(5) Lembaga Swadaya Masyarakat. Peranan lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) adalah berbeda dalam setiap negara. Namun demikian, kini terdapat kecenderungan bahwa di negara-negara berkembang, pemerintah semakin memberi peran yang leluasa kepada sektor-sektor non pemerintahan untuk juga terlibat dalam perumusan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini terutama terjadi sejalan dengan rekomendasi atau bahkan tekanan dari negara-negara donor yang memberi bantuan dan konsultasi finansial kepada negara yang bersangkutan. Selain itu, kini semakin disadari bahwa sebesar apapun pemerintah menguasai sumber-sumber ekonomi dan sosial, tidaklah mungkin mampu memenuhi kebutuhan segenap lapisan masyarakat secara memuaskan.
b. Isu-Isu kebijakan Sosial
Kebijakan sosial tidak dapat dilepaskan dari proses dan dimensi pembangunan secara luas. Karenanya perlu ditelaah secara singkat beberapa isu kebijakan sosial yang mungkin timbul dan perlu dipertimbangkan dalam proses dan mekanisme perumusan kebijakan sosial (Suharto, 1997)
(1). Peran negara dan masyarakat. Walaupun pemerintah memiliki peran yang besar dalam perumusan kebijakan sosial, tidaklah berarti bahwa hanya pemerintah sajalah yang berhak menangani masalah ini. Seperti dinyatakan dimuka, bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu memenuhi seluruh kebutuhan warganya. Sebesar apapun sumber-sumber ekonomi-sosial yang dimilikinya dan sehebat apapun kemampuan para pejabat dan aparatur pemerintah, tetap membutuhkan peran masyarakat.. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sosial mensyaratkan adanya keseimbangan dan proporsionalitas dalam hal pembagian peran dan kekuasaan pemerintah dan masyarakat.
(2) Perangkat Hukum dan Penerapannya. Perangkat hukum memiliki kekuatan memaksa, melalui sangsi dan hukuman yang melekat di dalamnya. Kebijakan sosial memerlukan perangkat hukum yang dapat mendukung diterapkannya kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat berjalan secara efektif apabila dinyatakan secara tegas melalui perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, adakalanya perangkat hukum yang sudah ada tidak dapat diimplementasikan secara baik dalam kegiatan-kegiatan operasional, baik dikarenakan oleh faktor manusianya, maupun kurang lengkapnya peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, perlu usaha keras agar terjamin adanya keselarasan antara perangkat hukum dan implementasinya. Ketidak-konsistenan antara ‘dassein’ dan ‘dasollen’ akan menimbulkan ketidak-percayaan masyarakat dan merosotnya citra lembaga-lembaga pembuat kebijakan, yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis dan bahkan antipati masyarakat kepada setiap produk kebijakan sosial.
(3) Koordinasi antar Lembaga. Seperti sudah dinyatakan di muka, kebijakan sosial seringkali menjadi urusan berbagai departemen dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antar lembaga tersebut agar kebijakan sosial tidak bersifat tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lain.
(4) Sumber Daya Manusia. Aspek mengenai SDM ini menyangkut jumlah dan kualitas para pembuat kebijakan yang akan diserahi tugas dalam merumuskan kebijakan sosial. Meskipun kebijakan sosial, menyangkut ‘aspek sosial’, tetapi dalam merumuskan kebijakan tersebut diperlukan sejumlah orang yang memiliki beragam profesi dan latar belakang akademik tertentu. Oleh karena itu, perumusan kebijakan harus memperhatikan kualifikasi SDM yang tepat. Selain ahli-ahli sosial, perumusan kebijakan sosial seringkali membutuhkan pakar-pakar ekonomi, hukum, dan bahkan ahli statistik.
(5) Pentingnya pelayanan sosial. Pentingnya pelayanan sosial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan isu penting lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kebijakan sosial. Isu ini terutama muncul karena adanya kecenderungan pemerintah yang semakin menurunkan anggaran belanjanya untuk kepentingan-kepentingan pelayanan sosial. Pelayanan sosial pada dasarnya merupakan investasi sosial yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup masyarakat. Pengalaman penulis berkunjung ke Costa Rica menunjukkan bahwa berkat kesigapan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya bagi pelayanan sosial, kualitas hidup warga masyarakat negara tersebut sangat memuaskan terutama bila dilihat dari indikator kualitas hidup (Human Development Index), seperti angka harapan hidup, jumlah kematian bayi per 1000 kelahiran, dan bahkan pendapatan per kapitanya.
(6) Penentuan prioritas pelayanan sosial. Di sebagian besar negara berkembang keinginan untuk memperbaiki pelayanan sosial sangat besar, namun demikian sumber dana untuk pengadaan pelayanan tersebut sangat terbatas (Conyers, 1991). Ini berarti bahwa kebijakan sosial harus mampu diprioritaskan terhadap pelayanan sosial yang benar-benar penting dan berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat. Misalnya, apakah pelayanan sosial akan lebih diprioritaskan untuk perawatan anak terlantar, para manula, para penyandang cacat, rehabilitasi permukiman kumuh, atau peningkatan peran pemuda dan wanita.
(7) Penentuan bentuk pelayanan sosial. Isu berikutnya berkaitan dengan pertanyaan mengenai bentuk-bentuk pelayanan sosial apa yang cocok untuk negara berkembang. Dewasa ini semakin disadari bahwa bentuk-bentuk dan standar pelayanan di negara maju tidak dapat sepenuhnya diterapkan di negara berkembang. Oleh karena itu, perlu diusahakan suatu bentuk pelayanan sosial yang sesuai dengan kondisi setempat dan cocok ditinjau dari segi fisik, ekonomi, sosial dan politik negara yang bersangkutan. Secara luas kita dapat mengusulkan apakah pelayanan sosial akan berbentuk uang tunai (cash payment), barang (benefit in kind), atau berupa bantuan konsultasi dan pelatihan-pelatihan.
(8) Distribusi pelayanan sosial. Hampir bisa dipastikan bahwa semua negara menghadapi masalah yang sama dalam kaitannya dengan persoalan ‘supply’ dan ‘demand’ pelayanan sosial, dalam arti kebutuhan akan pelayanan sosial selalu lebih besar dari kemampuan pemerintah atau lembaga penyelenggara dalam mengusahakan pelayanan sosial. Keadaan ini tentunya memaksa kita untuk memikirkan secara sungguh-sungguh mengenai distribusi pelayanan sosial. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pendistribusian pelayanan ini antara lain menyangkut segi geografis (desa, kota, daerah khusus), jender (pria, wanita, atau waria), usia (anak, remaja, manula) atau berdasarkan permasalahan-permasalahan khusus yang mendesak untuk segera dipecahkan.
(9) Penetapan kuantitas atau kualitas pelayanan sosial. Karena sumber daya manusia dan dana relatif selalu terbatas, maka isu mengenai pilihan dalam menentukan kuantitas dan kualitas pelayanan harus pula menjadi bahan pertimbangan yang matang bagi para pembuat kebijakan sosial. Antara kuantitas dan kualitas pelayanan sering kali terjadi trade-off, dilema, sehingga perlu ditentukan mana dahulu yang akan diutamakan. Misalnya, mengingat masih besarnya sasaran pembangunan kesejahteraan sosial, peningkatan jumlah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial masih dianggap lebih penting daripada meningkatkan kualitas pelayanan lembaga tersebut.
PENUTUP
Model-Model Analisis Kebijakan Sosial
Menurut Dunn (1991), analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan.
Menurut Quade (1982) analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak diterapkannya suatu kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan yang berkaitan dengan;
a. Fakta-fakta;
b. Nilai-nilai; dan
c. Tindakan-tindakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar